Dampak yang ditimbulkan dari Konglomerasi Media

Ghafarz project - Dampak positif bagi perusahaan tersebut : mereka bisa saling sharing production dan memanfaatkan fasilitas antar sister company dan terkadang kita bisa lihat sering terjadi siaran bareng di TV tersebut.

Dampak negatif, opini berita bisa dikuasai oleh beberapa konglomerasi media tersebut, terlebih jika owner media tersebut memiliki kepentingan tertentu, seperti politik, dsb. Dampak paling nyata adalah penyeragaman informasi yang disampaikan kepada publik yang bisa mengarah kepada penyeragaman opini atas suatu fenomena yang disajikan media. Tepatnya, dengan konglemerasi media menyebabkan kita seperti tidak punya pilihan lain dalam melihat dan memahami dunia. Semua masalah dunia dilihat dari cara bagaimana pemilik media melihatnya, kemudian mereka mencoba membingkainya sedemikian rupa seolah hanya itulah pandangan yang dianggap benar (hegemonik) dan yang lain tentu saja salah.

Kali ini bicara soal perlunya ditumbuhkan pengusaha kelas menengah jadi konglomerasi baru. Teori yang dipakai sederhana saja. Menghadapi globalisasi, yang akan membuat dunia tanpa perbatasan, Indonesia perlu lebih banyak lagi konglomerat. Pengusaha kecil tidak mungkin bisa tahan ketika berhadapan dengan multinasional. Padahal, persaingan global menuntut ke situ. 

Mochtar mengacu pada pemerintah Singapura dan Malaysia, yang pada saat ini menggalang perusahaan nasionalnya supaya lebih kuat bertempur di luar negeri. Indonesia, katanya , harus membuat perusahaan “papan tengah” kuat agar bisa menarik perusahaan kecil ke atas. Sungguh suatu ide menarik. Apalagi gagasan itu datang dari orang yang sudah jadi konglomerat dan ingat pada kekuatan ekonomi nasional secara makro. 

Saya tidak tahu bagaimana persisnya usaha yang harus dilakukan untuk mengongkretkan ide Mochtar ini. Selama ini kita hanya bicara tentang perusahaan swasta, BUMN, dan koperasi sebagai tiga pilar ekonomi nasional. Sepintas persepsi yang ada di benak kita: perusahaan swasta paling efisien, produktif, dan di manajemeni secara baik. BUMN adalah perusahaan yang punya hak monopoli, birokratis, dan kurang efisien: sedangkan koperasi adalah badan usaha yang dimiliki para pribadi, kecil, tida dimanajemeni dengan baik, dan sulit berkembang. 

Lantaran kita memandang pelaku ekonomi secara terkotak seperti ini , maka lantas timbul konotasi bahwa konglomerat hanya perusahaan swasta. BUMN, walau besar dan sering punya hak monopoli, dilihat sebagai wajar-wajar saja. Bukankah Pasal 33 UUD 1945 mengatakan bahwa cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara? Bukankah BUMN punya misi pengabdian masyarakat selain harus tetap dapat untung ? Sedangkan koperasi jadi pelaku ekonomi yang perlu dibina, dibantu, dan dibesarkan supaya bisa sejajar dengan kedua pelaku ekonomi lain. Pada kenyataannya, melakukan sterotyping seperti ini bisa berakibat misleading. 

Jadi, perusahaan sebesar apa pun, kalau hanya bergerak di satu bidang saja bukan konglomerat . Sebaliknya, perusahaan kecil yang punya usaha pencetakan, taksi, dan warung tegal bisa disebut konglomerat. 

Begitu juga dengan BUMN. Ternyata tidak semua BUMN punya hak monopoli dan manajemennya tidak baik dan kurang produktif. Bank-bank pemerintah pada saat ini tsedang berjuang keras bersaing dengan swasta. BUMN, seperti TELKOM, sedang melakukan reengineering dalam menghadapi perubahan global yang cepat. Begitu juga dengan PT Indosat, yang terus-menerus berusaha meningkatkan pelayanan 001-nya. Di BUMN saya juga melihat ada banyak aset sumber daya manusia yang masih muda-muda dan punya visi jauh ke depan. 

Mereka sebenarnya punya kemampuan hebat kalau pada suatu saat diberi kesempatan.
Bagaimana dengan koperasi? Inilah jenis usaha yang selalu dibina suatu departemen khusus. Menterinya gonta-ganti. Begitu juga dengan nama departemennya. Kali ini, pembinaan koperasi dibarengkan dengan usaha kecil. Koperasi dan usaha kecil boleh dibina. Tapi jangan sampai terjadi over-managed but underled. Nanti malah tidak pernah jadi besar. Lihat saja, Forrest Gump, yang polio di waktu kecil . Dia justru bisa lari kencang bukan karena dituntun, melainkan karena dibiarkan “jatuh-bangun” oleh ibunya, diberi semangat oleh pacarnya, dan dikejar oleh gerombolan anak-anak nakal. 

Jadi, menafsirkan ide Mochtar Riady jangan sampai salah. Yang perlu digalang bukan cuma usaha menengah swasta, karena konglomerat bukan monopoli swasta. BUMN dan koperasi juga bisa jadi konglomerat kalu sudah diversifikasikan usaha. Dan, usaha menegah milik siapa pun, yang belum diversified, juga perlu digalang. Untuk bisa memenangkan persaingan global, sebuah perusahaan tidak mesti diversified lebih dulu, bahkan sering justru harus memfokuskan diri sendiri pada bisnis pokok ( core business ). 

Satu lagi yang penting, perusahaan menengah tersebut sudah terbukti bisa hidup dan berjuang dalam suatu mekanisme pasar bebas. Bukan tumbuh karena dilindungi.


Sumber : World Knowledge

Tags: ,

Add Facebook

0 komentar

Leave a Reply